Saat ini, penanganan penyembuh Endometriosis secara permanen belum ditemukan. Namun, terapi jangka panjang dapat membantu manajemen gejala Endometriosis dengan memperlambat progresivitas penyakit serta mengurangi rasa nyeri sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Mengapa terapi jangka panjang dibutuhkan?
Berikut 3 alasan mengapa terapi jangka panjang dibutuhkan dalam penanganan endometriosis:
- Termasuk penyakit peradangan kronis
Tumbuhnya jaringan mirip endometrium di luar rahim menyebabkan peradangan kronis yang menyebabkan rasa nyeri dan tidak nyaman. Apabila dibiarkan, hal tersebut dapat meningkatkan konsekuensi berupa gangguan adaptasi nyeri serta kerusakan serabut saraf nyeri yang menyebabkan nyeri menahun [1].
- Bersifat progresif
Salah satu teori dasar terjadinya endometriosis adalah darah menstruasi yang mengalir terbalik ke dalam rongga perut (retrograde menstruation). Sehingga, apabila pasien terus mengalami menstruasi, maka tubuh akan mengalami cedera berulang pada rahim dan rongga perut sehingga menyebabkan pertumbuhan kista coklat dan lesi [2].
- Kekambuhan (rekurensi) tinggi
Salah satu penyebab tinggi nya rekurensi endometriosis adalah akibat hormon estrogen yang dapat mempertahankan dan membantu pertumbuhan sel endometriosis (estrogen-dependent). Oleh karena itu, selama tubuh pasien endometriosis dapat memproduksi estrogen, selama itu pula pasien memiliki risiko kekambuhan yang tinggi. Hal tersebut juga menjelaskan mengapa sebagian besar pasien endometriosis yang telah mencapai masa menopause tidak mengalami kekambuhan gejala [3].
Apa saja opsi terapi jangka panjang pada endometriosis?
Saat ini, terapi jangka panjang yang sudah terbukti efektifitas nya dalam mengurangi nyeri dan progresivitas penyakit adalah terapi hormonal. Jenis-jenis terapi hormonal yang dapat dipertimbangkan adalah:
- Sediaan progestin
Untuk mengatasi rasa nyeri dan menghambat pertumbuhan jaringan endometriosis, penggunaan progestin seperti Dienogest atau Norethisterone dapat menjadi pilihan. Terdapat beberapa cara untuk memberikan progestin, termasuk melalui pil, suntikan, atau penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
- Pil kombinasi estradiol & progestin
Penggunaan kontrasepsi oral kombinasi (KOK) dapat mengatasi nyeri panggul yang disebabkan oleh endometriosis. KOK bekerja dengan menghambat hormon LH dan FSH, serta mencegah pelepasan sel telur dengan menciptakan kondisi pseudo-kehamilan. Opsi ini juga dapat direkomendasikan kepada pasien endometriosis usia remaja.
- Injeksi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) agonis
Efek GnRH Agonis adalah menekan produksi hormon FSH dan LH melalui mekanisme desensitisasi. Dampak dari penurunan FSH dan LH ini adalah penghambatan produksi hormon estrogen sehingga menciptakan kondisi pseudo-menopause. Opsi ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi jangka menengah (max. 6 bulan) untuk kasus yang lebih urgent (seperti kista yang sudah terlalu besar) atau sebagai terapi pra/ pasca tindakan operasi, yang kemudian dilanjutkan dengan pil KOK atau sediaan progestin.
[4]
Baca lebih lanjut mengenai opsi perawatan lain disini: https://endometriosis-indonesia.id/apa-opsi-perawatan-endometriosis/
Bagaimana terapi jangka panjang bekerja?
Terapi hormonal menargetkan intervensi pada pusat pengendali hormon (otak), pusat produksi hormon dan darah haid (ovarium & dinding rahim), serta lesi endometriosis agar memperlambat progresivitas penyakit. Berikut cara kerja terapi hormonal berdasarkan jenisnya:
Jenis terapi hormonal | Cara kerja | |||
Pusat pengendali hormon | Pusat produksi hormon | Dinding rahim | Lesi endometriosis | |
Sediaan progestin | Menekan pelepasan hormon dari otak | Menekan produksi hormon estrogen | Mengurangi ketebalan dinding rahim hingga menghentikan haid | Menekan aktivitas lesi endometriosis |
Pil KOK | Menekan pelepasan hormon dari otak | Menekan produksi hormon estrogen | Mengurangi ketebalan dinding rahim hingga menghentikan haid (kondisi pseudo- kehamilan) | Menekan aktivitas lesi endometriosis |
GnRH agonis | Menekan pelepasan hormon dari otak | Menekan produksi hormon | Menghentikan haid (kondisi pseudo- menopause) | Menekan aktivitas lesi endometriosis |
[5]
Apa indikator terapi jangka panjang yang sukses?
Evaluasi berkelanjutan diperlukan dalam terapi jangka panjang. Hal yang perlu dipantau adalah:
- Apakah nyeri berkurang atau bertambah? dan
- Apakah pendarahan berkurang atau bertambah?
Hasil yang diharapkan tentu saja nyeri yang berkurang dan pendarahan yang berkurang [5]. Apabila salah satu atau kedua indikator tersebut tidak tercapai, maka dokter mungkin perlu melakukan penyesuaian penanganan. Sisters dapat mendiskusikan dengan dokter agar mengevaluasi apakah terapi hormon yang digunakan tidak efektif atau apakah ada kemungkinan komorbiditas dengan kondisi lain yang berpengaruh terhadap hasil terapi.
Apa yang perlu dipertimbangkan dalam menjalani terapi jangka panjang?
Berikut 2 hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam menjalani terapi jangka panjang:
- Tujuan & kebutuhan
Definisikan tujuan sisters dalam setiap penanganan dan komunikasikan tujuan tersebut kepada dokter. Terapi jangka panjang cocok bagi sisters yang ingin menjalankan manajemen nyeri, mengurangi progresivitas penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup. Apabila tujuan sisters adalah hamil, maka sisters perlu mendiskusikan strategi program kehamilan dan kemungkinan terapi yang perlu dijalani sebelum atau sesudah kehamilan.
- Profil risiko
Informasikan profil risiko sisters kepada dokter, terutama terkait:
- Penyakit lain yang sedang atau pernah diidap, seperti kelainan tromboemboli, penyakit yang berhubungan dengan jantung atau liver, diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, depresi, dll;
- Riwayat kesehatan keluarga, seperti kanker atau tumor payudara, respon tubuh terhadap pemberian obat hormon, dll; dan
- Adanya alergi terhadap obat.
[6]
Bagaimana cara mengoptimalkan terapi jangka panjang?
Untuk mengoptimalkan terapi jangka panjang, sisters perlu:
- Menggunakan terapi yang mempertahankan kadar estrogen,
- Mendiskusikan pertimbangan terapi dengan dokter, dan
- Melakukan kontrol dan evaluasi secara berkala.
[4]
Kapan bisa berhenti terapi jangka panjang?
Idealnya, terapi jangka panjang dengan terapi hormon dapat dihentikan ketika:
- Tujuan terapi berubah
Apabila tujuan terapi berubah dari sebelum nya manajemen nyeri menjadi tujuan untuk mencapai kehamilan, maka dokter mungkin akan menghentikan sementara terapi jangka panjang yang sisters jalani. Kebutuhan terapi jangka panjang perlu dievaluasi kembali setelah melahirkan.
- Tubuh sudah tidak memproduksi estrogen
Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, salah satu penyebab rekurensi endometriosis adalah sifatnya yang estrogen-dependent. Sehingga, sebagian besar pasien yang telah mencapai menopause tidak lagi mengalami gejala endometriosis. Dalam kondisi tersebut, peran terapi hormon dalam menekan produksi estrogen sudah tidak diperlukan.
Bolehkah rehat sementara dari terapi jangka panjang?
Terapi jangka panjang terkadang dapat menimbulkan rasa jenuh, sisters. Apabila sisters merasakan hal tersebut, silakan berkomunikasi dengan dokter tentang kapan waktu yang tepat untuk menghentikan sementara terapi yang sedang dijalani. Namun, apabila dalam masa rehat gejala kembali timbul, sisters perlu segera kembali berkonsultasi dengan dokter untuk strategi penanganan nya kembali.
Bagaimana dengan efek samping terapi tersebut?
Efek samping terapi hormonal cukup beragam dan dapat berbeda-beda pada setiap individu tergantung jenis obat dan kondisi individu tersebut. Risikonya termasuk efek secara fisik (contoh: kenaikan berat badan), seksual (contoh: berkurangnya gairah seks), maupun mental (contoh: depresi) [7]. Sisters dapat berdiskusi dengan dokter tentang skema terapi jangka panjang yang tepat serta opsi terapi add-back (contoh: konsumsi suplemen) yang dapat mengurangi atau mengatasi efek samping yang mungkin terjadi [6].
Sumber:
[1] Morotti, M., Vincent, K., & Becker, C. M. (2017). Mechanisms of pain in endometriosis. European Journal of Obstetrics: Gynecology and Reproductive Biology, 209, 8–13. https://doi.org/10.1016/j.ejogrb.2016.07.497
[2] Brosens, I., Gargett, C. E., Guo, S.-W., Puttemans, P., Gordts, S., Brosens, J. J., & Benagiano, G. (2016). Origins and progression of adolescent endometriosis. Reproductive Sciences, 23(10), 1282–1288. https://doi.org/10.1177/1933719116637919
[3] Bozdag, G. (2015). Recurrence of endometriosis: Risk factors, mechanisms and biomarkers. Women’s Health, 11(5), 693–699. https://doi.org/10.2217/whe.15.56
[4] Harzif, A. K., Sumapraja, K., Hidayat, S. T., Permadi, W., & Rizal, F. A. (2023). Mengenali Endometriosis: Tidak Semua Nyeri Haid Normal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi Dan Fertilitas Indonesia (HIFERI).
[5] Sumapraja, K. (2024). Meet the Expert: Bagaimana Mengoptimalisasi Pengobatan Jangka Panjang Endometriosis?. Endo Indo Fest 2024: 9 Years Together, Stronger than Ever.
[6] Becker, C. M., Bokor, A., & Heikinheimo, O., et al. (2022). ESHRE guideline: Endometriosis. Human Reproduction Open, 2022(2). https://doi.org/10.1093/hropen/hoac009 [7] U.S. Department of Health and Human Services. (2020). What are the treatments for endometriosis?. Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development. nichd.nih.gov