“Ngapain ke SpOG, kan belum nikah?”
“Periksa ke dokter kandungan? Emangnya kamu kenapa?”
Endosisters, pernah dengar kalimat seperti itu? Atau bahkan mengalaminya sendiri? Padahal, pemeriksaan ke obgyn bukan cuma buat yang sudah menikah atau sedang hamil, lho. Menjaga kesehatan reproduksi itu hak semua perempuan, tak peduli usia atau status pernikahan. Tapi masih banyak dari kita yang takut, malu, atau ragu untuk pergi periksa karena stigma negatif yang melekat.
Masalahnya, stigma ini bukan sekadar ganggu perasaan. Ia bisa berdampak serius pada keterlambatan diagnosis penyakit seperti endometriosis.
Diagnosis Terlambat, Bukan Karena Tidak Tersiksa Tapi Karena Takut Dianggap yang engga-engga
Pada tahun 2024, Komunitas Endometriosis Indonesia mencatat bahwa rata-rata waktu keterlambatan diagnosis endometriosis di Indonesia adalah 7 tahun. Dari panjangnya keterlambatan tersebut ditemukan bahwa:
- Butuh rata-rata 5.4 tahun dari munculnya gejala pertama hingga konsultasi medis pertama
- Butuh 1.5 tahun lagi dari konsultasi untuk mencapai diagnosis

Itu artinya, banyak dari kita yang sebenarnya sudah merasa ada yang salah, sudah menahan sakit, tapi butuh lebih dari 5 tahun hanya untuk memberanikan diri pergi ke dokter.
Kenapa bisa selama itu?
Stigma itu Nyata dan Menyakitkan
Selain karena gejala haid sering dinormalisasi (“namanya juga perempuan, wajar sakit”), alasan terbesar kedua yang ditemukan komunitas kami adalah stigma negatif terhadap perempuan yang belum menikah dan ingin periksa ke SpOG.
Tahun 2025 saat pelaksanaan #Gerakan100USGGratis, kami berdiskusi dengan 20 endosisters dari berbagai latar belakang. Salah satu cerita yang paling sering muncul adalah ini:
“Periksa baru setelah nikah karena ada anggapan, “ya ampun kayaknya belum nikah ke spog itu kayaknya tanda kutip aja [jelek], orang ke SpOG pasti hamil””
“Kalo belum menikah ke SpOG tuh pasti menimbulkan tanda tanya, “ngapain perawan di USG jangan-jangan hamil di luar nikah””
“Tahun 2012 [berobat] ke bidan di fitnah aneh-aneh, dibilang berzina dan ganti ganti pasangan”
Bukan hanya keluarga atau lingkungan yang memperkuat stigma ini. Di media sosial, kita juga bisa temukan banyak konten dari tenaga kesehatan yang menyebarkan shaming terhadap remaja perempuan yang datang ke SpOG, atau terhadap pasien dengan kehamilan di luar nikah.
Memang betul, edukasi tentang risiko kehamilan remaja memang penting. Tapi bukan dengan mempermalukan. Shaming di ruang publik bukan hanya mempermalukan satu individu, tapi memperkuat rasa takut dan stigma bagi perempuan lainnya untuk mencari bantuan medis.
Efeknya bukan cuma luka di hati, tapi risiko di tubuh. Stigma semacam ini hanya membuat generasi muda makin menjauh dari layanan kesehatan reproduksi yang aman dan benar.
Dokter Spesialis Kandungan & Ginekologi (SpOG) Bukan Milik Orang Menikah Saja
Banyak kondisi ginekologis dan gejalanya muncul sejak usia remaja. Survey komunitas Endometriosis Indonesia di tahun 2024 menemukan hampir 90% remaja perempuan mengalami nyeri haid dan 66% anggota komunitas merasakan gejala endometriosis sejak usia remaja.
Padahal kalau ditangani sejak dini, dampak dan tingkat keparahannya bisa dikurangi. Tapi kalau dibiarkan karena takut atau malu? Risikonya bisa jauh lebih berat di masa depan.
Dokter SpOG adalah orang yang tepat untuk berkonsultasi tentang:
- Nyeri haid
- Siklus tidak teratur
- Keputihan atau nyeri panggul
- Pemeriksaan kista, miom, PCOS, atau endometriosis
Mari kita dorong penyedia layanan kesehatan untuk:
- Bersikap lebih ramah dan terbuka
- Tidak menghakimi status pernikahan pasien
- Fokus pada edukasi yang empatik, bukan mempermalukan.
Kita Semua Bisa Mengambil Peran
Cerita dari sesama endosisters bisa membuka jalan bagi yang lain. Bisa jadi, keberanianmu periksa dan bercerita membuat orang lain ikut berani mengambil langkah untuk merawat diri dan memperbaiki kualitas hidupnya. Endosisters, yuk kita ubah narasinya:
“Pergi ke dokter SpOG bukan aib.
Menjaga kesehatan organ reproduksi bukan hal yang memalukan.
Dan status pernikahan tidak seharusnya jadi syarat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik.”
Jika kamu sedang menunda periksa karena takut dikomentari orang, ingat: tubuhmu layak mendapat perhatian dan perawatan. Kesehatan reproduksi bukan cuma soal punya anak, tapi soal kualitas hidup dan hak atas tubuh sendiri.
Karena tubuhmu berharga. Merawatnya bukan dosa.
Kalau kamu merasa artikel ini relate, jangan ragu bagikan ke orang-orang yang kamu sayangi. Bisa jadi, satu klik-mu menyelamatkan seseorang dari rasa malu yang tak perlu.
Referensi:
- Survey Komunitas Endometriosis Indonesia tahun 2024, melibatkan 153 anggota komunitas dan 253 remaja putri berusia 11-21 tahun.
- Focus Group Discussion (FGD) Komunitas Endometriosis Indonesia tahun 2025, melibatkan 20 pasien peserta #Gerakan100USGgratis.